Ilustrasi. (Foto : AI Bing/ Wargasipil.id)
Ilustrasi. (Foto : AI Bing/ Wargasipil.id)

Berakit-Rakit ke Hulu, Berenang-Renang ke Tepian, Pukul-Pukul Dulu, Minta Maaf Kemudian?

Insiden intimidasi terhadap wartawan RTV, Ridha Yansa alias Yayan, yang terjadi saat meliput aksi demonstrasi di depan Polda Gorontalo, dinilai tidak cukum hanya dengan permintaan maaf Kapolda Gorontalo.

Solidaritas Jurnalis Gorontalo menilai permintaan maaf itu hanyalah langkah awal yang belum cukup untuk menyelesaikan persoalan.

Solidaritas Jurnalis Gorontalo menegaskan bahwa permintaan maaf dari Kapolda Gorontalo pada 24 Desember 2024, terkait insiden intimidasi terhadap wartawan RTV, Ridha Yansa alias Yayan, tak serta merta menyelesaikan persoalan tersebut.

Keputusan ini disepakati bersama dalam Refleksi Jurnalisme Gorontalo di akhir tahun yang digelar sore tadi di Kota Gorontalo, Senin, 30 Desember 2024. Acara ini dihadiri lintas organisasi pers dan seluruh perwakilan media pers di Gorontalo.

Wawan Akuba, Koordinator Solidaritas Jurnalis Gorontalo mengatakan, terduga pelaku intimidasi yang berpangkat Komisaris Besar Polisi (Kombes Pol) itu harus bertanggung jawab secara moral, etik, dan individu atas tindakan yang telah mencoreng kebebasan pers.

Menurut Wawan, permintaan maaf tersebut harus diikuti dengan langkah nyata yang menunjukkan komitmen institusi kepolisian dalam melindungi kebebasan pers, yakni dengan menindak pelanggaran yang dilakukan oleh anggotanya.

“Permintaan maaf dari Kapolda adalah langkah awal, tetapi kami meminta pelaku intimidasi untuk secara langsung meminta maaf kepada Ridha Yansa dan kepada seluruh jurnalis atas tindakan yang mencoreng integritas pers,” kata Wawan Akuba, Senin (30/12/024).

Wawan menegaskan, tindakan pelaku bukan hanya melukai Yayan secara pribadi, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian sebagai institusi penegak hukum.

Apalagi, kata Wawan, kebebasan pers dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, dan tindakan ini jelas melanggar pasal-pasal yang menjamin kemerdekaan pers.

“Tindakan yang dilakukan oleh oknum petinggi Polda Gorontalo jelas melanggar pasal-pasal yang menjamin kemerdekaan pers dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999,” jelasnya.

Ddrinya menegaskan, sikap ini juga merupakan sinyal bagi kepolisian di seluruh Indonesia untuk lebih menghormati kebebasan pers dan mencegah kejadian serupa di masa depan.

Wawan tegaskan, Insiden ini menjadi pengingat bahwa kebebasan pers adalah pilar utama demokrasi yang harus dilindungi oleh semua pihak, termasuk aparat penegak hukum. Ketidakmampuan untuk melindungi jurnalis yang sedang bertugas tidak hanya mencederai nilai-nilai demokrasi, tetapi juga melanggar hukum yang berlaku di Indonesia.

“Kapolda Gorontalo harus melakukan evaluasi terhadap pola pengamanan demonstrasi agar kejadian serupa tidak terulang. Kepolisian juga harus memberikan jaminan perlindungan kepada jurnalis yang bertugas di lapangan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,” tegasnya.

Sebelumnya, saat menjalankan tugas meliput aksi demonstrasi HMI Badko SulutGo di depan Polda Gorontalo Yayan terlihat dengan jelas menggunakan ID card media.

Namun, seorang anggota polisi secara tiba-tiba menghampiri, memukul ponselnya hingga rusak, dan melarangnya untuk merekam dengan berkata, “Jangan dulu merekam.” Akibat tindakan ini, ponsel Yayan mengalami kerusakan parah, sehingga menghambat tugas jurnalistiknya.

Atas kejadian tersebut, Kapolda Gorontalo telah meminta maaf kepada para jurnalis dan mengakui tanggung jawab institusional atas kejadian tersebut.

Namun, Solidaritas Jurnalis Gorontalo menegaskan bahwa permintaan maaf institusi tidak cukup tanpa tindakan tegas terhadap pelaku di lapangan.

“Solidaritas Jurnalis Gorontalo akan terus mengawal kasus ini hingga ada keadilan yang nyata bagi Ridha Yansa dan seluruh jurnalis yang bekerja di Gorontalo,” kata Wawan.

Aksi yang dilakukan Solidaritas Jurnalis Gorontalo ini mengingatkan bahwa insiden seperti ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Jangan sampai hanya mencerminkan pepatah lama: berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, pukul-pukul dulu, minta maaf kemudian.(*)