(Opini) – Dalam lanskap media di Indonesia, hubungan antara manajemen perusahaan (direksi) dan manajemen redaksi sering menjadi isu yang penuh dilema.
Sebagai dua entitas yang bekerja di bawah payung yang sama, keduanya memiliki tujuan yang berbeda. Direksi fokus pada keberlangsungan bisnis dan keuntungan, sementara redaksi bertanggung jawab menjaga integritas jurnalistik dan independensi berita.
Namun, sering kali garis batas ini kabur, menciptakan ironi yang memengaruhi kerja jurnalistik dan kredibilitas media.
Direksi, dalam fungsinya, bertugas memastikan roda perusahaan tetap berputar. Mereka bertanggung jawab atas pendapatan, operasional, hingga relasi bisnis.
Sebaliknya, jurnalis dan manajemen redaksi bekerja di ranah idealisme, melayani kepentingan publik melalui pemberitaan yang jujur dan independen.
Direktur terlibat dalam pengambilan keputusan editorial atau, lebih buruk lagi, memaksakan kebijakan bisnis ke dalam ruang redaksi.
Sebaliknya, redaksi kerap merasa tertekan oleh arahan yang lebih berorientasi pada kepentingan bisnis daripada misi jurnalistik.
Namun, tumpang tindih peran ini masih banyak ditemukan di media yang ada di Indonesia.
Ironi Ketergantungan Finansial
Media tidak bisa hidup tanpa pemasukan. Sebagai perusahaan, ia bergantung pada iklan, sponsor, dan donasi. Di sisi lain, independensi redaksi sering kali menjadi korban.
Ketika pemilik media memiliki hubungan bisnis atau politik dengan pihak tertentu, ruang redaksi kerap diarahkan untuk menghindari isu-isu yang dianggap sensitif bagi kepentingan bisnis.
Hal ini menciptakan dilema: jurnalis ingin menjaga kredibilitas, tetapi perusahaan membutuhkan aliran dana.
Tanpa kesadaran yang jelas dari pemilik media tentang pentingnya menjaga jarak antara direksi dan redaksi, tekanan terhadap jurnalis akan terus terjadi.
Pentingnya Manajemen Dualitas
Idealnya, media perlu mengembangkan manajemen dualitas yang tegas: satu untuk kepentingan bisnis, satu untuk kepentingan jurnalistik.
Di beberapa negara, hal ini diterapkan melalui mekanisme yang disebut “firewall” yaitu sekat tegas antara ruang redaksi dan manajemen perusahaan.
Direksi tidak boleh mencampuri keputusan editorial, dan redaksi tidak bisa memaksa perusahaan untuk mengadopsi model bisnis tertentu.
Ini membutuhkan pemahaman mendalam dari kedua belah pihak, serta komitmen pemilik media untuk menghormati independensi redaksi.
Bagi jurnalis, memahami bahwa mereka bekerja untuk publik, bukan untuk pemilik media, adalah fondasi penting dalam menjaga integritas.
Sementara bagi pemilik media, menyadari bahwa keberlanjutan bisnis media justru bergantung pada kepercayaan publik terhadap kredibilitas berita adalah hal yang tak bisa diabaikan.
Keberhasilan media sebagai institusi tidak hanya diukur dari neraca keuangan, tetapi juga dari dampaknya dalam mencerdaskan masyarakat.
Keseimbangan ini hanya bisa dicapai jika direksi dan redaksi berdiri di ruang yang berbeda tetapi saling mendukung, bukan saling menekan.
Dengan kesadaran ini, media dapat lebih sehat, tidak hanya sebagai bisnis tetapi juga sebagai pilar keempat demokrasi yang tangguh.(*)
Leave a Reply
View Comments